Sabtu, Mei 18, 2024

Apakah Fatwa Bergantung Dengan Waktu Dan Tempat Dan Apakah Berubahnya Fatwa Berarti Telah Mengubah Hukum Syariat Islam ?

Image by. ahmalassaf.com

Pertanyaan

Apakah fatwa bergantung dengan waktu dan tempat dan apakah berubahnya fatwa berarti telah mengubah hukum syariat islam” ?

Jawaban :

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد

Secara asal hukum-hukum syar’i yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits tidak akan berubah hingga hari kiamat, seperti haramnya khomr (minuman keras), zina, riba, durhaka kepada kedua orang tua, dan hukum-hukum yang serupa lainnya, Allah Ta’ala berfirman:

وَاتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِن كِتَـابِ رَبِّكَ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَلَن تَجِدَ مِن دُونِهِ مُلْتَحَدًا / سورة الكهف: 27

“ Dan bacakanlah apa yang diwahyukan kepadamu, yaitu kitab Tuhanmu (Al Quran). Tidak ada (seorangpun) yang dapat merubah kalimat-kalimat-Nya. Dan kamu tidak akan dapat menemukan tempat berlindung selain dari padaNya.” ) QS. Al-Kahfi: 27)

Dan perlu dimaklumi bahwa “fatwa” bukanlah “hukum syari’at”; fatwa berkaitan dengan masalah ijtihad yang disesuaikan dengan realita yang ada, perbedaan realita, tempat dan waktu akan mempengaruhi fatwa dengan berbagai pertimbangannya.

Syeikh Muhammad bin Ibrahim –rahimahullah- berkata:

“…Dan hukum Allah dan Rasul-Nya tidak ada perbedaan dengan berbedanya waktu, perubahan keadaan dan kejadian, tidak lah ada suatu masalah apapun kecuali hukumnya ada di dalam al Qur’an dan sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, baik secara tekstual atau diambil kesimpulannya atau yang lainnya. maksud dari apa yang telah disebutkan oleh para ulama: “Berubahnya fatwa dengan berubahnya waktu” adalah: “Selama pengaitnya secara mendasar terdapat dalam dalil-dalil syar’i, dan sebab-sebab yang diperhatikan dan beberapa maqashid syari’ah (kemaslahatan yang menjadi tujuan Allah –ta’ala- dan Rasul-Nya)”. (Fatawa Syeikh Muhammad bin Ibrahim: 12/288-289)

Pendapat yang mengatakan bahwa hukum-hukum syari’at yang ditetapkan dengan wahyu bisa berubah berarti boleh merubah agama, merubah hukum-hukumnya, artinya akan berujung pada bolehnya menghapus (hukum-hukum) setelah syari’at ini sempurna sepeninggal Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka Perlu diketahui bahwa hasil ijma’ saja tidak bisa menghapus hukum yang baku dalam syari’at kecuali jika sumber ijma’ tersebut berdasarkan wahyu juga..

Imam Syatibi –rahimahullah- berkata ketika menjelaskan tentang keistimewaan hukum-hukum syari’at yang qath’i (pasti):

“Hukum syari’at itu tetap langgeng dan tidak lenyap; oleh karena itu anda tidak mendapatkan nasakh (penghapusan) setelah disempurnakan, juga tidak ada takhsis (pembatasan) pada dalil umumnya, juga tidak ada yang muqayyad (tertentu) pada dalil muthlaqnya (belum tertentu), juga tidak ada pembatalan dari hukum-hukumnya, juga tidak karena umunya para mukallaf, juga bukan karena dikhususkannya sebagian dari mereka, juga bukan terkait dengan waktu tertentu, juga bukan terkait dengan keadaan tertentu, bahkan apa yang telah ditetapkan menjadi sebab, maka selamanya menjadi sebab dan tidak dibatalkan, dan yang menjadi syarat maka selamanya menjadi syarat, dan yang wajib selamanya akan menjadi wajib, atau yang mandub (sunnah) juga menjadi sunnah selamanya, demikian juga semua hukum, tidak ada yang hilang dan tidak berubah, jika semua kewajiban dikekalkan tanpa batas, maka hukumnya pun akan demikian”. (Al Muwafaqaat: 1/109-110)

Batasan kaidah di atas dalam dua hal:

a. Perubahan hanya terjadi dalam fatwa, bukan dalam hukum syar’i yang telah tetap dengan dalilnya.

b. Perubahan yang terjadi dalam fatwa karena berubahnya waktu, tempat dan kebiasaan pada satu daerah tertentu.

Kami akan menyebutkan beberapa contoh:

a. Barang temuan misalnya, akan berbeda dari satu daerah ke daerah lain, dan dari waktu ke waktu dalam hal mengukur nilai barang temuan tersebut, bisa langsung dimiliki tanpa diinformasikan atau tidak, maka dalam masalah ini akan berbeda termasuk dalam satu negara sekalipun, nilai berharganya barang tersebut itu akan berbeda di perkotaan dan pedesaan.

b.Zakat fitrah juga demikian, sebagaimana diketahui bahwa Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menetapkannya dengan makanan pokok sebanyak satu sha’, dan dalam teks hadits tersebut adalah “sya’ir” (gandum kualitas rendah), kurma, dan “al Iqthi” (keju), kesemuanya itu bukan termasuk makanan pokok pada banyak negara saat ini, sya’ir misalnya sekarang sudah menjadi makanan binatang, kurma sekarang menjadi makanan pelengkap, al iqth sekarang sudah sedikit sekali dikonsumsi, atas dasar inilah para ulama berfatwa untuk setiap negara sesuai dengan makanan pokok masing-masing, sebagian mereka berfatwa zakat fitrah dengan beras, sebagian yang lain dengan jagung, dan seterusnya.

Tidak diragukan bahwa hukum syar’i tetap dan tidak berubah, yaitu: kewajiban membayar zakat fitrah, tetap juga dalam masalah ukuran, sedangkan perbedaan hanya terjadi pada jenis makanan yang dibayarkan.

Dalam kaitannya dengan ini terdapat banyak contoh di antaranya: talak (perceraian), pernikahan, sumpah, dan lain sebagainya dalam masalah-masalah dalam syari’at.

Ibnul Qayyim –rahimahullah- telah memuji fiqh yang detail ini setelah menukil perndapat di atas dengan berkata:

“Inilah inti dari fiqh, dan barang siapa yang berfatwa hanya berdasarkan dengan apa yang tertera di dalam literatur buku-buku tanpa pertimbangan ‘urf, kebiasaan, waktu, keadaan dan qarinah (pelengkap), maka ia telah sesat dan menyesatkan, dan kesalahannya terhadap agama lebih berat dari pada seorang dokter yang mengobati banyak orang dari berbagai daerah, yang berbeda kebiasaan, waktu dan tabiat mereka, dengan berdasarkan pada satu buku dari banyak buku-buku kedokteran. Maka dokter seperti ini adalah dokter yang bodoh, demikian juga seorang mufti justru akan lebih bahaya lagi karena menyangkut masalah agama.”. (I’lam Muwaqqi’in: 3/78)

Wallahu ta’ala a’lam.

***

Ustadz Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I

( Mudir Ma’had Aly Makkah Boyolali )

Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I
Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I
Ustadz Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I, Beliau adalah Mudir Ma'had 'Aly Makkah Boyolali. Beliau termasuk alumni Ma’had ‘Aly Imam Syafi’i (MAIS) Cilacap dan Alumni S-2, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saat ini beliau sedang menyelesaikan S-3 di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

800FansSuka
927PengikutMengikuti
10PengikutMengikuti
500PelangganBerlangganan

Latest Articles