Sabtu, Mei 18, 2024

Apakah Air Musta’mal Bisa Digunakan Untuk Bersuci ?

Image By. pixabay.com

Air musta’mal adalah tetesan air yang jatuh dari anggota tubuh ketika wudhu maupun mandi besar. Berkata Syekh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:

( 1/36 ) ((الشرح الممتع)) الاستعمالُ: أن يمرَّ الماءُ على العُضوِ، ويتساقَطُ منه، وليس الماءُ المستعملُ هو الذي يُغتَرَف منه. بل هو الذي يتساقَطُ بعد الغَسلِ به

“air musta’mal adalah air yang melintasi anggota tubuh kemudian menetes. Sehingga air musta’mal bukanlah air yang diciduk, namun air musta’mal adalah air yang terjatuh setelah mencuci (bagian wudhu/mandi) dengan air tersebut. ( Asy Syarhul Mumti’: 1/36)

Hukum air musta’mal yag digunakan untuk berwudhu maupun mandi besar adalah suci dan mensucikan (bisa menghilangkan hadats), hanya saja sebagian ulama’ memakruhkannya.

Disebutkan dalam Mawahib Al Jalil dan Syarh Mukhtashar Khalil:

المالكيَّة وإن كانوا يرون طهارَتَه إلَّا أنهم كرِهوا استعمالَه إذا كان الماءُ قليلًا ووُجِدَ غيره. ((مواهب الجليل)) للحطَّاب (1/92)، ((شرح مختصر خليل)) للخرشي )1/74

“para ulama malikiyah walaupun berpandangan sucinya (air musta’mal), namun mereka memandang makruh menggunakannya apabila air tersebut sedikit, lebih-lebih ada air yang lainnya. (Mawahib Al Jalil 1/92), (Syarh Mukhtashar Khalil 1/74)

Berkata Ibnu Taimiyyah Rahimahullah:

قال ابن تيميَّة: (وكذلك الماءُ المُستعمَلُ في طهارةِ الحدَثِ باقٍ على طُهوريَّته) ((مجموع الفتاوى)) )20/519

“begitu pula air musta’mal yang digunakan untuk bersuci dari hadats, maka dia tetap dalam status –thahur-nya (suci dan mensucikan)”. (Al Majmu’ Al Fatawa 20/519)

Berkata Syekh Ibnu Baz Rahmahullah:

قال ابن باز: (الوضوءُ مِنَ الماء المجتَمِعِ في إناءٍ من أعضاءِ المتوضِّئِ أو المغتَسِلِ يُعتبَرُ طاهرًا. واختلف العلماءُ في طُهوريَّته، هل هو طَهورٌ يجوز الوضوءُ والغُسل به، أم طاهرٌ فقط، كالماء المقيَّدِ مثل: ماء الرمَّان وماء العنب، ونحوهما؟ والأرجح: أنَّه طَهورٌ؛ لعمومِ قَولِ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ((إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنجِّسُه شيءٌ  )) أخرجه الإمام أحمد، وأهل السُّنن إلَّا ابنَ ماجه، بإسنادٍ صحيح. ولا يُستثنى من ذلك إلَّا ما تغيَّر لونُه أو طعمُه أو ريحُه بالنَّجاسة، فإذا تغيَّر بذلك صار نجِسًا بالإجماع، لكنَّ تَركَ الوضوءِ من مثل هذا الماءِ المُستعمَل أولى وأحوَطُ؛ خروجًا من الخلافِ؛ ولِمَا يقع فيه من بعض الأوساخِ الحاصلةِ بالوضوءِ به أو الغُسل)

(10/18 ) ((مجموع فتاوى ابن باز))

Berwudhu dari air yang terkumpul dalam suatu bejana, (yang mana air tersebut) dari bekas anggota wudhu dan mandi (besar), maka air tersebut statusnya suci. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal status thahur-nya (suci dan mensucikan), apakah air tersebut thahur sehingga boleh berwudhu atau mandi besar dengannya, atau statusnya hanya thahir (suci namun tidak mensucikan) seperti air yang sudah melebur (dengan benda suci) seperti air delima, air anggur atau yang sejenisnya?, maka pendapat yang lebih kuat air tersebut statusnya thahur (suci dan mensucikan),berdasarkan keumuman sabda nabi shallaahu ‘alaihi wa sallam

إنَّ الماءَ طَهورٌ لا يُنجِّسُه شيءٌ  

“sesunggauhnya air itu statusnya thahur suci dan mensucikan, tak ada sesuatu pun yang menajiskannya”. (diriwayatkan oleh Ahmad dan Ashabus sunan kecuali Ibnu Majah dengan sanad yang shahih.

Dan tidak dikecuaikan dalam hal itu kecuali apabila berubah warnanya, rasanya atau baunya yang disebabkan najis, apabila ada perubahan (pada air tersebut) karena sebab najis maka air tersebut menjadi najis berdasarkan ijma’ ulama’. Namun meningglkan berwudhu dengan menggunakan air musta’mal ini lebih utama dan hati-hati, sebagai bentuk keluar dari khilaf ulama’, juga bisa jadi ada kotoran yang terjatuh pada air tersebut karena sebab sudah dipakai wudhu atau mandi”. (Majmu’ Fatawa Ibn Baz: 10/18).

Berkata syeikh Ibnu Utsaimin Rahimahullah:

قال ابن عثيمين: (..فالصوابُ أنَّ ما رُفِعَ بقليلِه حَدَثٌ، طَهورٌ؛ لأنَّ الأصلَ بقاءُ الطُّهوريَّة، ولا يمكن العدولُ عن هذا الأصل إلَّا بدليلٍ شرعيٍّ يكون وجيهًا) ((الشرح الممتع)) (1/49).

“yang benar, bahwa sesungguhnya air yang digunakan untuk mengangkat hadats walau jumlahnya sedikit maka status air tersebut tetap thahur (suci dan mensucikan), karena secara asal masih tetapnya status ke-thahur-annya, dan tidak boleh berpaling dari kaidah ini kecuali dengan dalil syar’i yang menjadi penguat”. (Asy Syarhul Mumti’ 1/49)

***

Ustadz Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I

( Mudir Ma’had Aly Makkah Boyolali )

Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I
Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I
Ustadz Achmad Wildan Suyuti, M.Pd.I, Beliau adalah Mudir Ma'had 'Aly Makkah Boyolali. Beliau termasuk alumni Ma’had ‘Aly Imam Syafi’i (MAIS) Cilacap dan Alumni S-2, Program Pascasarjana, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Saat ini beliau sedang menyelesaikan S-3 di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

800FansSuka
927PengikutMengikuti
10PengikutMengikuti
500PelangganBerlangganan

Latest Articles